Merantau, Budaya Luhur yang Mulai Terdistorsi

Angku Roni,


Posting yang satu ini membuat saya rindu Marapi, Singgalang dan Tandikek.


Sekalipun budaya merantau dilakoni hampir oleh setiap suku bangsa di dunia, namun di Minangkabau marantau mempunyai arti khusus. Merantau menyangkut etos kerja yang dimaknai secara lebih spritual. Makna itu lewat dari sekedar petitih ” marantau madang ka ulu, ba buah babungo malun, marantau bujang dahulu, dek di rumah paguno balun.” Anak-anak muda lelaki Minangkabau bukannya tidak berguna, tapi agak aib bagi keluarga jika mereka berkubang saja di kampung halaman. Soalnya selain memperluas wawasan, pergi merantau dianggap bisa menempa jiwa, mengasah keuletan dalam memperbaiki taraf hidup anak kemenakan.

Demikian bunyi salah satu komentar menanggapi tulisan saya kemarin.

Pendapat itu ada benarnya.

Sebagaimana budaya matrilineal yang berlaku di Minangkabau, bahwa anak laki-laki tidak memiliki tempat di rumah setelah mereka menginjak akil baliq.

Lantas, di mana mereka tinggal? Di surau (langgar). Mereka tinggal di surau bersama-sama dengan teman-teman sebaya sambil mengaji Al Quran dan belajar kepada “alam terkembang jadi guru”.

Budaya seperti inilah yang kemudian melahirkan orang-orang yang kuat dan mandiri namun tetap berpegang teguh kepada nilai-nilai agama.

Saya sering mendengar cerita heroik mengenai pahit getirnya hidup rantau dari orang-orang seangkatan almarhum ayah saya.

Salah satunya adalah ketika saya menumpang mobil BMW milik Pak Haji Anas, salah satu perantau sukses dari kampung saya.

Ketika itu mobil melewati sebuah bioskop tua di perempatan Senen. Pak Haji itu menunjuk emperan bioskop itu sambil berkata, “dulu saya tidur di emperan bioskop ini”.

Lain lagi kisah Pak Haji Ali, sesepuh TDA. Beliau mulai merantau berbekal sedikit uang dari berjualan daun singkong yang dipetik dari pagar rumahnya. Uang itu sebagai modalnya untuk merantau ke Palembang dan mulai berjualan kayu bakar di sana.

Almarhum ayah saya lain lagi. Ketika memulai peruntungan di Jakarta, beliau berjualan asongan. Ya, asongan seperti di lampu merah itu. Dagangannya adalah sapu tangan, peniti, minyak angin dan sebagainya.

Nilai-nilai dari cerita seperti itulah yang kemudian mempengaruhi pola pikir saya. Bahwa hidup di rantau itu harus berjuang. Kalau bisa kaki jadi kepala, kepala jadi kaki.

Namun, terus terang saat ini nilai-nilai seperti itu sudah terdistorsi oleh jaman.

Anak-anak mereka saat ini hidup dengan kondisi yang jauh lebih baik daripada orang tua mereka.

Mereka tidak lagi harus keluar dari rumah ketika akil baliq. Mereka tidak lagi harus menginap di surau.

Mereka pun tidak lagi harus merantau.

Apakah mereka juga punya daya juang setangguh orang tua mereka?

Secara umum saya berpendapat, tidak.

Saya menyaksikan sendiri anak-anak mereka banyak yang bermental lembek (termasuk saya dong…).

Mulai berbisnis dengan modal dari orang tua (termasuk saya juga).

Kalau bangkrut, tinggal minta tambahan modal lagi (kalau ini, saya tidak termasuk).

Saya juga memperhatikan, mereka yang sukses justru memang berasal asli dari kampung. Bukan yang sudah lahir dari orang tua yang perantau seperti saya ini.

Daya juang mereka jauh lebih tinggi.

Sayangnya, dengan kemajuan jaman saat ini, mereka bukan lagi produk surau seperti dahulu. Sehingga, bekal nilai-nilai agamanya terasa kurang. Beberapa di antara mereka terlalu sibuk dengan bisnis dan bahkan melupakan shalat. Pendapat saya ini tentu saja subjektif sifatnya.

Makanya, dengan adanya otonomi daerah saat ini, ajakan “kembali ke nagari, kembali ke surau”, patut didukung.

Merantau tanpa bekal ilmu agama yang kuat akan melahirkan orang-orang sukses secara materi tapi kosong nilai-nilai agama.

Semoga menjadi pemikiran kita bersama.

Wassalam,

Roni, salah seorang anak dari perantau

Catatan: Tulisan ini saya dedikasikan sebagai sumbang pemikiran bagi para perantau khususnya generasi muda Minang. Kebetulan, saya adalah Ketua Bidang Kewirausahaan di Ikatan Sosial Magek Jakarta Raya, sebuah organisasi sosial perantau asal Nagari Magek, Bukittinggi.

3 pemikiran pada “Merantau, Budaya Luhur yang Mulai Terdistorsi

  1. Assalamu’alaikum,

    Salam kenal buat uda Roni. Senang membaca tulisan yang berisi dedikasi dan berbau introspeksi yang mewakili generasi muda minang. Tapi saya sedikit protes pada uda Roni, bahwa yang merantau menimba ilmu dan mencari bekal bukan anak laki-laki atau bujang saja. Para perempuan minangpun banyak yang merantau mencari ilmu dan rezeki untuk mendukung perekonomian keluarga. Dari data yang saya miliki di perusahaan saya bekerja dan beberapa perusahaan di Batam tidak kurang dari ribuan pekerja perempuan yang berasal dari ranah minang dan mereka telah berhasil menopang biaya pendidikan dan kehidupan keluarga di kampung.

    Hidup para perantau minang dan semoga polusi budaya dan teknologi tidak melunturkan nilai adat dan agama sebagai “Adat basandi Sarak, Sarak basandi Kitabullah”.

    Suka

  2. alah minum tea talua, ndak……….
    barang tu ndak tembus mungkin karena blom pernah minum tea talua…he he he…

    tapi itu memang kelemahan dari sebuah kota besar…. mental anak2 nya jadi memble, mo gampang aja…

    cape deh….

    Suka

Tinggalkan komentar