Kategori: Business

Si Petualang atau Si Tekun?

Dalam diskusi di sebuah grup WA, ada yang menyatakan bahwa supaya hidup itu tidak membosankan, harus sering gonta-ganti ide, mencoba hal-hal baru,  mengekplorasi berbagai kemungkinan. Hal ini langsung diamini beberapa teman grup, termasuk saya.

Namun, saya juga menambahkan bahwa itu semua adalah pilihan. Mau pilih hidup yang fokus/persisten di bidang yang ditekuni atau ingin lebih bernuansa petualangan, gonta-ganti profesi/bisnis, lokasi tempat tinggal dan sebagainya, itu balik lagi ke karakter dan pilihan masing-masing.

Richard Branson adalah contoh pengusaha sukses yang selalu mencoba hal baru, buka bisnis baru, melakukan petualangan baru. Elon Musk juga mirip dengan ini. Apa pun yang dikerjakan Musk selalu mengundang decak kagum. Membaca kisah mereka, tak habis kata, WOW,  seru sekali hidupnya. Penuh warna-warni petualangan berisiko. Seru, seperti kisah di film.

Di lain pihak ada juga orang sukses yang sepanjang hidupnya melakukan itu-itu saja, contohnya Warren Buffett. Setiap hari sepanjang hidupnya ia menghabiskan waktu membaca 5-6 jam setiap hari di kantornya yang sederhana dan membosankan. Makan di tempat yang sama (McDonald’s dan Dairy Queen), melakukan hobi yang sama (main bridge). Rumahnya nggak ganti sejak dibelinya tahun 50-an.

Salah satu penulis yang saya sukai, Haruki Murakami, dalam sebuah wawancara menceritakan rutinitas hariannya sebagai penulis yang membosankan dan tanpa variasi. Biasanya ia bangun jam 4 pagi dan langsung menulis selama 5 sampai 6 jam. Pada sore hari ia akan berlari sepanjang 10 kilometer sambil mendengarkan musik dan tidur paling lambat jam 9 malam.

Kalau diadakan penelitian, versi mana yang mayoritas? Jenis petualang atau jenis yang membosankan? Saya meyakini versi Warren Buffett lebih banyak jumlahnya. Mayoritas orang sukses itu hidupnya membosankan, tekun melakukan rutinitas yang sama bertahun-tahun.

Balik lagi, semua itu adalah pilihan sesuai dengan karakter masing-masing. Yang penting pilihan itu sesuai dengan jati diri kita, sesuai dengan values kita, sesuai dengan kelebihan kita masing-masing, bukan karena pengaruh eksternal. Setiap orang punya jalannya masing-masing. Tidak bisa dipaksakan sama.

Photo credit: biennialoftheamericas.org

 

Favorit Saya 2017

Daftar ini terinspirasi dari Mas Yuswohady yang setiap akhir tahun selalu membuat daftar 10 buku bisnis terbaik versinya yang selalu saya tunggu. Beberapa buku yang saya baca juga saya dapatkan dari daftar ini.

Saya juga ingin membuat daftar seperti itu namun berbeda, yaitu daftar hal-hal yang saya suka di tahun 2017. Kriteria penilaiannya sangat subyektif, makanya saya beri judul “favorit”, dan bukan “terbaik”. Cara menilainya juga simpel, apa saja yang memiliki pengaruh positif kepada saya (dampak, resonansi, wawasan, pengaruh).

Berikut ini daftarnya:

1. Buku: The Power of Moments karya Chip dan Dan Heath. Ide buku ini sederhana, bahwa moment yang layak dikenang itu bisa direkayasa dengan sengaja.

2. Film: La La Land. Menonton film musikal ini sangat menyenangkan dan juga sangat ngejazz. Sutradaranya sukses bikin jazz jadi ngepop. Istri saya yang nggak suka jazz juga sepakat dan setuju untuk ditonton berulang kali.

3. Musisi: Joey Alexander. Bukan karena dia dianggap sebagai anak ajaib dari Indonesia, namun karyanya memang layak didengar berulang-ulang.

4. Sarana Transportasi: KRL Commuterline. Saya menggunakannya beberapa bulan terakhir dan berhasil mengurangi penggunaan mobil pribadi hampir 90%.

5. Aplikasi: Gojek. Ini aplikasi betul-betul berhasil mengunci penggunanya termasuk saya. It solves some of my daily problems.

6. Media sosial: Instagram. Instagram ini membuat saya terdorong untuk melakukan sesuatu seperti melukis, memfoto, melakukan perjalanan dan mengapresiasi keindahan.

7. Tokoh politik/birokrat: Tri Rismarini. Saya penyuka taman dan jalan kaki (di trotoar). Ketika berkunjung ke Surabaya, semua kemewahan taman dan trotoar itu tersedia hampir di seluruh pelosok.

8. Tokoh agama: Gus Mus. Gus Mus sering menampar saya untuk memarahi dan memperbaiki diri sendiri, bukannya memarahi orang lain. Itu yang membedakannya dari arus utama saat ini.

9. Destinasi wisata: Belitung. Karena dekat, murah, keindahan alam beda tipis dengan Indonesia Timur, kuliner juga oke, budaya juga dapat. Cocok untuk wisata singkat bersama keluarga. Satu lagi plusnya: the power of story dari Andrea Hirata.

10. Kuliner: kopi manual brew. Terus terang agak sulit memilihnya karena saya mengapresiasi banyak hal tentang kuliner namun kopi memang lebih menyita waktu dan perhatian saya.

11. Olah Raga: bersepeda. Ini juga pilihan sulit, karena saya juga suka jogging dan jalan kaki, namun bersepeda telah membawa saya ke next level of experience. Setahun terakhir saya sudah bersepeda di Jakarta, Wonogiri, Pacitan, Bali, Lembang, Bandung, Bukittinggi dan Semarang.

12. Gaya Hidup: minimalis. Yes, sejak tahun 2009 kenal dengan istilah ini dan masih konsisten sampai sekarang. Istilah lain yang intinya juga sama juga sering digunakan seperti: essentialism, sustainable living, frugal living, debt free living. Ini bakal jadi tren global didorong oleh generasi milenial.

13. Gerakan: The Maker Movement: Ini gerakan global yang mengajak kita untuk membuat sendiri ketimbang membeli. Saya sudah mencoba beberapa seperti memasak, membuat kopi, melukis, membuat notebook kulit, dll.

14. Penulis: Martin Seligman. Ini pelopor ilmu psikologi positif. Ternyata beberapa penulis best seller terinspirasi dari dia. Jadi dialah mbahnya saat ini.

15. Ide: lean and agile. Dunia dalam segala hal sedang berubah cepat. Istilah kerennya era VUCA (Volatile, Unpredictable, Complex dan Ambiguity). Tool bersikap dengan lean dan agile ini berguna sekali untuk bisnis, sosial dan pribadi.

Strategi atau Eksekusi?

Banyak pebisnis yang suka berburu ke sana kemari ilmu strategi atau “what”. Ia kumpulkan berbagai strategi itu sampai dia bingung sendiri yang mana yang mau dipakai. Bingung juga bagaimana mengeksekusinya.

Strategi itu penting. Tapi Eskesusi itu lebih penting. Strategi keren dan canggih gak akan jadi apa-apa kalau gagal eksekusinya.

Nah, soal eksekusi itu ternyata nggak gampang. Apalagi kalau organisasi sudah besar. Apalagi kalau cara/strategi lama sudah mengakar dan sulit diubah. Mengubah kebiasaan itu yang nggak mudah. Harus mulai dari mindset dulu.

Makanya banyak strategi yang hebat di atas kertas kemudian gagal di lapangannya. Kabarnya, menteri yang diberhentikan kemarin itu isunya gara-gara ide atau strateginya keren tapi sulit dieksekusi di lapangan.

Ilmu “what” itu penting, tapi ilmu “how” itu lebih penting. Tanpa “how” gak akan ke mana-mana.