Kategori: Renungan

Catatan di Masa Pandemi

Saya sebetulnya sudah lama ingin menulis tentang bagaimana menjalani hari-hari isolasi saat pandemi ini. Apa yang dirasakan, apa yang berubah, apa saja tantangannya dan bagaimana menyikapinya.

Tentu saja menjalani semua perubahan yang dipaksa ini tidak mudah ya. Di masa awal, yaitu Maret, terus terang saya merasakan kepanikan, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Bagaimana dengan sekolah anak-anak? Bagaimana dengan operasional bisnis? Bagaimana kami sekeluarga menjalani hari-hari terkait dengan kebutuhan pokok? Bagaimana hubungan kami dengan keluarga besar dan kerabat? Juga menyangkut pertanyaan bagaimana kondisi keuangan kami ke depannya.

Semua informasi yang saya dapatkan makin menarik masuk ke dalam zona ketakutan. Anak-anak mulai diliburkan sekolahnya, namun tidak tahu bagaimana proses selanjutnya. Bisnis terpaksa ditutup karena Jakarta melakukan PSBB. Karyawan juga diistirahatkan di rumah dulu. Penjualan anjlok sampai ke titik yang tidak pernah dialami sebelumnya. Mau belanja kebutuhan pokok, takut ke pasar. Pernah saya coba membeli sayur di marketplace, namun barang yang datang hancur lebur packingnya karena kehujanan.

Saya mencatat semua kejadian dan pengalaman itu dalam buku jurnal. Ketika saya buka kembali masa bulan Maert itu, memang terlihat jelas benang merahnya, kelam, bingung, khawatir, takut, galau. Saya ingat perjalanan ke Bandung menggunakan travel di saat awal pandemi. Waktu itu saya kurang fit, demam, hidung meler. Saya pakai masker sepanjang perjalanan pulang pergi. Saya tahan supaya tidak bersin yang membuat penumpang lain ketakutan. Duh, betapa tersiksanya pengalaman itu. Untung saja ada kopi hangat yang bisa saya beli di rest area. Lumayan menenangkan.

Sepulang dari Bandung, Pak Try dan Presiden TDA 6.0 Mas Donny mengajak meeting di Citos. Karena ini penting, saya paksakan untuk hadir dengan catatan bahwa saya akan pakai masker, meski pun saat itu belum ada aturan mewajibkannya. Begitu meeting selesai, saya buru-buru pulang. Itulah meeting terakhir saya sebelum isolasi panjang di rumah.

Tak lama setelah itu terjadi market crash. IHSG anjlok ke titik terendahnya setelah 2008. Sampai 4300 dari titik tertinggi akhir 2019 di 6299. Mestinya orang-orang yang paham investasi akan menyerbu saham-saham yang sudah kelewat murah itu. Tapi itu tidak terjadi. Bisa jadi, ketakutan lebih mendominasi ketimbang keberanian mencari cuan. Ini benar-benar crazy. Memang saya membaca bahwa market crash itu lumrah terjadi, paling tidak 10 tahun sekali. Hanya tidak tahu kapan terjadinya. Apakah 2019, 2020 atau 2021. Siapa yang menyangka datangnya seperti badai besar yang meluluhlantakkan semuanya bernama Covid-19.

Tidak ada preseden kejadian seperti ini sebelumnya. Pemerintah mana pun tidak punya pengalaman mengatasi krisis yang dinamai Trisula oleh Pak Dahlan Iskan. Trisula, karena penyebabnya bukan hanya satu, melainkan tiga, yaitu perang dagang AS – Cina, krisis harga minyak dipicu oleh Arab Saudi dan Rusia dan Covid-19.

Sebuah kejadian menyadarkan saya yang terpuruk dalam zona ketakutan. Saya membagikan link berita tentang Covid-19 di grup Whatsapp warga lingkungan RT. Saya merasa berita itu penting diketahui karena terkait dengan wilayah sekitar tempat tinggal. Tapi responnya tidak seperti yang saya harapkan. Bahkan saya dapat teguran dari Pak RT dalam bentuk gambar yang menampar saya. Gambar itu adalah empat lingkaran yaitu lingkaran zona nyaman, zona ketakutan, zona belajar dan zona bertumbuh berikut ciri-cirinya. Saya membatin dan berterima kasih sudah diingatkan. Sejak itu saya bertekad untuk berusaha pindah dari zona negatif ke zona yang positif. Bahkan berharap bisa sampai di zona bertumbuh.

Sumber gambar: LinkedIn

Selamat Datang Februari

 

Duh, udah Februari aja. Baru satu postingan saya buat di tahun ini. Padahal janjinya dalam hati, saya akan lebih sering menulis blog lagi di tahun 2020 ini.

Bulan lalu, saya membaca buku Tiny Habits dari BJ. Fogg, PhD. Di antara para penulis bestseller soal kebiasaan, idenya Fogg ini paling simpel. Untuk memulai kebiasaan baru, gak harus punya motivasi yang tinggi, yang penting adalah mulai aja dengan hal kecil, mudah, sedikit demi sedikit dan dengan hati gembira.

Contohnya menulis di blog ini. Kok yang dulunya begitu mudah saya lakukan hampir setiap hari, tapi kenapa sekarang jadi berat ya?

Saya ingat lagi kebiasaan dulu. Dulu waktu menulis, saya memang ada motivasi ingin berbagi, saya sendiri senang melakukannya dan waktu itu laptop selalu terbuka di depan mata, jadi mudah tinggal ngetik.

Ternyata, sekarang walau pun jauh lebih mudah melakukannya, tinggal buka aplikasi WordPress di smartphone, nyatanya nggak terbukti juga. Distraksinya banyak, itu alasan paling umum saat ini.

Sekarang saya coba lagi dengan setting seperti dulu. Laptop selalu terbuka di meja. Tinggal ketik. Ditunggu aja postingan berikutnya. Terbukti nggak, hehe.

Btw, judul di atas gak ada hubungannya ya dengan isinya, hehe.

 

Dampak Kontribusi

Dapat inspirasi pagi ini dari TED. Soal kontribusi/charity. Bukan soal “what” atau “how much” tapi yang lebih penting adalah soal dampaknya.

Apakah dampaknya besar?

Apakah dampaknya penting?

Apakah sustainable/berjangka panjang?

Jadi kontribusi itu mirip berinvestasi yang orientasinya jangka panjang.