Waktu masih kecil, saya mudah sekali bahagia. Pulang sekolah, hanya dengan menggambar di kamar, hati sudah senang. Saya bisa melakukannya berjam-jam tanpa henti. Saat itu pilihan hiburan sangat terbatas. TVRI baru tayang setelah jam 17 sore. Itu pun acara untuk anak-anak hanya satu dua saja.
Kenapa sekarang begitu susah untuk bahagia? Kenapa sekarang begitu banyak syarat dan penghalangnya? Bukankah bahagia itu sederhana dan mudah?
Saat pandemi ini saya terpaksa harus banyak di rumah. Otomatis pilihan yang membuat bahagia menjadi terbatas. Tidak bisa lagi jalan-jalan ke tempat yang eksotis. Mau ngopi di kafe, harus mikir seribu kali. Mendingan nyeduh sendiri. Pikiran melayang ke masa kecil di mana begitu mudahnya saya merasa bahagia di tengah pilihan yang terbatas seperti saat ini.
Makanya, saya aktif lagi menggambar seperti dulu. Bahkan saya rajin mengikuti tutorial dan kursus-kursus online untuk mempertajam skill. Beberapa tutornya mengatakan, menggambar atau sketching itu tujuannya untuk membuat bahagia. Jangan pedulikan hasil akhirnya. Toh, kalau bikin kesalahan, bisa diulang lagi. Jangan pedulikan karya orang lain yang lebih baik. Nikmati saja prosesnya. Selama itu membuat anda bahagia, lakukan lebih sering.
Membaca buku, tentu saja jadi pilihan lain. Bahkan begitu banyak buku yang menumpuk akhirnya satu per satu tamat dibaca. Ini semacam “blessing in disguise” di masa pandemi. Saya malu sendiri, kebiasaan membeli buku selama ini tidak diimbangi dengan kedisiplinan membacanya. Tumpukan buku yang tidak terbaca jauh lebih panjang daripada yang sudah diselesaikan.
Pagi hari saya selalu sempatkan berjalan kaki paling tidak 3-4 km pas matahari pagi terasa hangat menyiram tulang. Katanya itu mengandung vitamin D yang bagus untuk imunitas. Sambil berjalan, saya juga membayangkan tokoh-tokoh seperti Henry David Thoreau, JJ Rousseau dan Nietzche yg saya baca di buku Philosophy of Walking karya Frederic Gros. Mereka punya kebiasaan berjalan kaki setiap hari sambil melahirkan ide-ide kreatif. Berjalan kaki itu membuat saya rileks, pikiran terbuka dan ide-ide pun mengalir.
Kemarin ada twit yang pas banget dari Naval Ravikant yang juga menginspiriasi tulisan ini, “Highs that donβt lead to subsequent lows: meditation, gratitude, prayer, journaling, unconditional love, yoga, exercise, play, nature walks, creating art, reading for fun, singing, poetry, practicing a craft, pursuing curiosity, work done for its own sake, flow.”
Perlu digarisbawahi, semua aktivitas itu nyaris tanpa biaya.